Pages

Monday, August 24, 2009

M. Junus Melalatoa: Menguak Tradisi dan Tragedi Nganga Luka Sebuah Negeri Kaya Ragam Suku Bangsa

Oleh: Abu Salman


Ketika menikmati Tarian Bumi (IndonesiaTera, 2003) dan Sagra (IndoensiaTera, 2003) saya merasa seperti diajak oleh Oka Rusmini untuk berada di tengah-tengah Negeri 1000 Dewa. Berinteraksi dan menyaksikan parade keindahan dan kesakralan upacara-upacara dan ritual-ritual sebuah tradisi eksotis dan luhur, penuh simbol-simbol pemujaan kepada yang kuasa. Menyaksikan gemulai dan keelokan penari-penari rupawan. Sebuah "profesi" yang banyak diminati gadis-gadis muda di pulau indah itu. Menjadi sebuah simbol, menjadi pusat perhatian baik dalam ranah penghiburan maupun dalam ritual pemujaan.

Disamping mengajak saya untuk berada di tengah-tengah keelokan dan keluhuran sebuah adat, tradisi, dan budaya negeri para dewa di pulau Dewata, Bali sebagai salah satu keragaman etnis dalam pilar-pilar bangunan kebinekaan Republik Indonesia.
Oka Rusmini seolah-olah juga mengajak saya untuk menengok dan merasakan sebuah ketidakadilan yang dikonstruksi oleh masyarakat dalam sebuah tradisi yang masih membeda-bedakan harkat dan martabat manusia dari status sosialnya (kelas/kasta). Ya, Oka Rusmini seperti mengajak saya untuk meneropong dan menggugat Bali dengan sebagaian tradisinya yang menihilkan nilai-nilai cinta dan kemanusiaan.

Demikian pula ketika saya menikmati sajak-sajak dalam "Luka Sebuah Negeri" karya M. Junus Melalatoa (Yayasan Obor Indonesia, 2006). Saya seolah-olah diajak untuk berkelana dan singgah untuk menjadi saksi. Bukan hanya pada sebuah tradisi dan budaya sebuah etnis di Indonesia, akan tetapi berbagai ragam etnis yang menjadi komponen kebinekaan sebuah negeri kita tercinta yang sedang terluka.

Luka Sebuah Negeri seolah-olah menyadarkan saya akan negeri elok dengan kurang lebih 18 ribu pulau dan ratusan etnis yang dengan suka rela hidup berdampingan dalam kesadaran untuk menjadi sebuah bangsa yang besar. Sebuah bangsa besar yang disatukan sejak titik kulminasi pada tanggal 17 Agustus 1945.

Sebagai seorang Profesor, antropolog yang juga penyair atau penyair yang antropolog dengan pengalaman langsung di lapangan dalam rangka melaksanakan kegiatan penelitian atas keragaman berbagai etnis di kepulauan nusantara (etnografi) , M. Junus Melalatoa sangat fasih bicara tentang adat istiadat, tradisi, dan budaya etnis-etnis di Indonesia yang dituangkan dalam sajak-sajaknya.

Dengan rekaman realitas yang didapatnya dari penelitian, sebagai seorang yang berjiwa peka realitas-realitas tersebut "didokumentasikan’ dalam sajak-sajaknya yang indah dan menyentuh. Sajak-sajaknya seolah-olah memanggil-manggil saya untuk mengenal lebih dalam dan menyadari, tidak sekedar mengetahui betapa bangsa Indonesia sangat kaya dengan keragaman etnis yang berbeda adat, tradisi, dan budaya.
Suatu adat, tradisi, dan budaya yang unik yang menunjukkan ketinggian dan keluhuran etnis-etnis yang menjadi pilar-pilar bagi terwujudnya suatu bangsa yang besar. Ketinggian dan keluhuran tradisi dan budaya yang tercermin dari kemuliaan perilaku masyarakat dan pimpinan etnis tersebut.

Setelah menyadari kebinekaan, keluhuran, ketinggian, dan kemuliaan adat, tradisi, dan budaya berbagai etnis bangsa kita yang menempati wilayah terbentang dari ujung barat sampai ke ujung timur, saya seperti di dorong-dorong untuk berempati betapa dibalik itu semua masih ada yang masih harus tercecer dan tersingkir dari sentuhan derap langkah pembangunan, baik pembangunan jasmani atau rohani, fisik atau non fisik yang menjadi komitmen dan kewajiban negara dalam proses mewujudkan rasa keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Mari kita simak rekaman realitas-realitas yang telah dilihat, didengar, dirasakan, direnungkan oleh M. Junus Melalatoa yang sangat fasih dituangkan dalam sajak-sajaknya, mulai dari ujung paling barat, Aceh.

Sosok jasad beku ini
yang tengah dinanti anak-istri
ketika adzan magrib bergema
tak di dengarnya lagi
padahal ketika lahir kalimah suci itu
berulang di kumandangkan ke telinganya
oleh orang tua
sesudah senja sosok itu tertelan gelap malam
perang mengiringi nasibnya menjadi temaram
(Catatan Harian Anak Negeri, Luka Sebuah Negeri, Obor, 2006)

Rekaman realitas pergolakan di Aceh yang meminta korban dari pihak mana saja telah menyisakan nyeri bagi sanak saudara yang ditinggalkan korban-korbannya. Dan perang itu juga menyisipkan teror dibenak siapa saja, seolah-olah esok hari tiada harapan untuk hidup:

Seiring datangnya senja daun-daun menjadi layu
Sebagaimana layunya dedaunan itu
Hati ini pun ikut layu
Bersama geletar malam
Mengalir pula tanya
Apakah diri ini masih di beri waktu
Esok hari
(Catatan Harian Anak Negeri, Luka Sebuah Negeri, Obor, 2006)

Perang itu juga membuat "ORANG-ORANG terusir dari kampung kesayangan / - terusir oleh dukanya / kampung yang dulu punya segala / punya harga diri, kasih sayang / punya tertib sopan dan setia kawan / kini konon tergerus pupus". Ya perang itu telah menjadi hantu yang meneriakkan "jerit cericit" dan "kicau pilu bertalu-talu".

Dari Aceh, M. Junus Melalatoa seperti mengajak saya untuk menelusuri pedalaman Kalimantan dan singgah menemui kesederhanaan dan kemuliaan orang-orang yang ditemui dalam penelitian sekaligus yang diteliti yang pada akhirnya mereka saling terpaut untuk menjadi sahabat.

Betapa banyaknya sahabatku
satu-satu kuhitung nama
semerbak: Peledek, Pelukin, Ire, Iban
satu-satu kuingin wajah
indahnya sekeliling
satu-satu ku kenang dirinya
betapa mulia hati
(Sahabatku, Luka Sebuah Negeri, Obor, 2006)

Sebagai sahabat ia sangat berempati ketika melihat ketidakadilan yang menimpa para sahabatnya. Bagaimana orang-orang yang menjaga alam yang telah diwarisi dari generasi ke generasi justru diberikan stigma sebagai kelompok yang menjadi penyebab rusaknya alam. Bukannya segelintir manusia-manusia serakah yang memeliki Hak Pengrusakan Hutan (HPH), "DEGAM-DEGUM hutang ditebang / berkeping-keping kayu melayang / detak cabang rapuh jatuh / terhembus rubuh ke bumi" dan siapakah mereka?

Kalian dengar kabar tentang
Pitnah yang kejam
Kambing hitam
rusaknya alam
bumi yang dipelihara mati-matian
untuk sekedar tidak mati
(Kenyah Long Merah, Luka Sebuah Negeri, Obor, 2006)

Meskipun sebenarnya keseimbangan alam selalu di jaga. Bukankah manusia "tradisional" menggunakan alam hanya untuk eksis dan survive? Bukan untuk menumpuk kekayaan, menumpuk modal, memenuhi ambisi yang tiada habis-habis untuk diwariskan anak cucu, sampai tujuh turunan kalau perlu. Seperti yang dilakukan dan diimpikan "orang datang dari jauh / dengan salam takzim" dan penuh adab mereka, para penjaga alam merentangkan jawaban yang diakhiri dengan senyuman.

Tetapi ketika ku dengar
Kepak sayap enggang
Titik embun dari ujung daun
ketipak kaki kijang
yang tak pernah mematahkan ranting
maklumlah aku
siapa kau
(Sahabatku, Luka Sebuah Negeri, Obor, 2006)

Masih di pedalaman kalimantan, M. Junus Melalatoa menulis diatas tulisan – tulisan realitas tentang peradaban suku Punan yang memiliki peradaban sebaya China.

Punan tua – mungkin sebaya buah tengkawang
Setidaknya setua peradaban tembikar Cina
Karena di sana ad guci suci
Dari dinasti sebelum Masehi
Di barter dengan batu bezoar
(Punan Tua II, Luka Sebuah Negeri, Obor, 2006)

Peradaban yang tinggi yang dimiliki salah satu suku bangsa kita dengan keunggulan-keunggulannya dalam "pergaulan" antar bangsa harus habis di kikis kesombongan dan keserakahan modernitas.

Keunggulan komparatif zaman nirkela
kini ditebas habis oleh arogansi dungu
akhirnya turunan Punan Tua pun jadi transmigran
terlunta dalam keterasingannya sendiri
(Punan Tua II, Luka Sebuah Negeri, Obor, 2006)

Dari menoleh rasa kebanggaan yang telah jadi kenangan di pedalaman Kalimantan, saya diajak untuk menengok keramahan bahasa kasih sayang dan kesakralan upacara di Sumba. (Bersambung)

No comments:

Sepetak Sajak

Kau tidak menyebut nama-Ku
kau menyebut namamu

(Gatoloco, Asmaradana, Goenawan Mohammad)

----

aku ingin mencintamu dengan membabi buta-
dengan sebotol racun yang diteguk Romeo
tanpa sangsi yang membuat kematiannya jadi puisi

aku ingin kau mencintaiku dengan membabi buta
dengan sebilah belati yang ditikamkan Juliet
ke dada sendiri yang membuatnya jadi abadi

(Aku Ingin, Autobiografi, Saut Situmorang)