Pages

Monday, June 21, 2010

Pelukis Neo-Candi Nominee Indonesian Art Award (IAA) 2010

Pergulatannya dalam dunia kepelukisan untuk menemukan jati diri pernah membuatnya merasa putus asa ketika berbagai eksplorasi yang dilakukannya tidak memuaskan hati. Bahkan hasil explorasi-eksplorasi tersebut malah membuatnya merasa seperti menjadi epigon para pelukis terdahulu.

Lalu, bermula dari ketidaksengajaannya berkunjung ke sebuah toko bangunan bersama seorang teman beberapa tahun yang lalu, Jumartono melihat berbagai jenis material batu-batuan dan pelapis lantai/dinding di toko tersebut. Sebagai seorang pelukis, seketika itulah timbul inspirasinya untuk menggunakan salah satu material batu-batuan yaitu batu candi sebagai medianya dalam melukis.

Sebelum menemukan batu candi sebagai media lukisnya, ada tiga fase perjalanan kepelukisannya. Pada fase pertama, hasil karyanya tampak sangat memperhitungkan figur nan elok dengan tema-tema manis dan akrab. Mungkin sesuai dengan kemudaannya yang masih digelorakan oleh cinta dan teman hidup sehingga pada fase ini banyak dijumpai lukisan perempuan-perempuan dalam berbagai ekspresi.

Fase kedua merupakan pengaruh karakter pribadinya dalam menumpahkan ekspresi. Kepribadian yang pendiam tetapi relatif praktis dan cepat dalam tindakan, menggerakkan efek-efek rupa ekspresif dengan figur-figur dramatis.

Fase ketiga, Jumartono mengerjakan proses melukisnya yang dilakukan di luar studio, berhadapan langsung dengan obyek lukisan, obyek tidak lagi imajinasi dari cetusan abstrak ekspresif, tetapi pemandangan asli yang termuati emosi sehingga gaya ekspresif eksis mendukung rupa efek.

Sedangkan pada fase keempat, masih dalam ekspresionisme yang seolah telah menyatu dengan dirinya, namun eksplorasi dilakukan dari aspek media lukisan, yaitu dengan menggunakan batu candi. Dengan media dari batu candi, yaitu batu yang diperoleh melalui proses alam, lahar dingin gunung berapi yang dia dapatkan dari Yogjakarta, hasil-hasil karyanya sangat mewakili tema-tema kekerasan sosial dan psikologis masyarakat kecil yang menjadi obyek lukisannya akhir-akhir ini.

Karakter batu candi berwarna hitam dengan kontur kasar dan berpori-pori besar seolah menyatu dengan obyek lukisan yang dia angkat dari realitas sosial yang dijumpainya sehari-hari di lingkungan dia tinggal.

Hal tersebut tampak dalam karyanya yang berjudul “Broken Dream” dengan berat karya sekitar 230 Gram secara keseluruhan. Karya tersebut merupakan paduan dari beberapa lukisan dengan media batu candi. Sebuah karya yang memotret tentang pemuda yang tak tercapai segala harapan-harapannya. Terpinggirkan oleh sistem yang tak dapat ditembus oleh kompetensinya. Hal tersebut menjadi sebuah ironi ketika dikombinasikan dengan janji-janji para elit politik dalam bentuk poster yang ditempelkan berbagai posisi sebagai background sang pemuda dalam obyek lukisan tersebut.

Pada akhirnya perjuangan yang sungguh-sungguh dari seorang Jumartono mencari jati diri dalam karir kepelukisannya dapat membuahkan hasil. Dengan karya Broken Dream tersebut dia dapat menembus ajang kompetisi dalam Indonesian Art Award (IAA) 2010 bersama dengan 94 finalis lainnya.dari berbagai kota di Indonesia. Dia menjadi satu-satunya pelukis dari Lamongan atau lima pelukis dari Jawa Timur (peserta lain dari Surabaya dan Malang) yang menjadi nominee/finalis dalam kompetisi dengan Jim Supangkat sebagai Ketua Tim Juri/Kurator tersebut. Sembilan puluh empat hasil karya para finalis/nominee Indonesian Art Awar (IAA) 2010 tersebut saat ini juga dipamerkan di Galeri Nasional, Jakarta.

No comments:

Sepetak Sajak

Kau tidak menyebut nama-Ku
kau menyebut namamu

(Gatoloco, Asmaradana, Goenawan Mohammad)

----

aku ingin mencintamu dengan membabi buta-
dengan sebotol racun yang diteguk Romeo
tanpa sangsi yang membuat kematiannya jadi puisi

aku ingin kau mencintaiku dengan membabi buta
dengan sebilah belati yang ditikamkan Juliet
ke dada sendiri yang membuatnya jadi abadi

(Aku Ingin, Autobiografi, Saut Situmorang)