Simak Sajak:
Religiusitas yang tak verbal pada Telepon Berdering Dini Hari
Sebuah Sajak Bambang Kempling
Beberapa waktu lalu masih di tahun 2009 ini saya masih teringat ketika memposting sebuah puisi-puisi-an saya ke milist apresiasi sastra. Ketika itu puisi-puisi-an tersebut mendapat respon dari Hudan Hidayat yang menyatakan bahwa puisi-puisi-an yang saya buat tersebut masih terlalu verbal.
Tapi bagaimana lagi, sebagai seorang awam puisi memang sering terjebak pada keverbalan gaya ungkap. Menyatakan A untuk sebuah maksud yang A pula. Menulis B untuk bermaksud menyatakan B pula.
Dalam sajak karya Bambang Kempling berjudul Telepon Berdering Dini Hari yang tergabung dalam Antologi Bersama Lidi Segala Kata seperti mengungkap religiusitas yang tak verbal. Jadi religiusitas itu tidak harus mengungkap kata-kata seperti shalat, zakat, puasa, dan lain-lain
Dalam konsep Islam sepertiga malam akhir atau dini hari sampai menjelang fajar adalah waktu kesunyian dari hiruk pikuk kesibukan dunia. Pada saat itulah turun Tuhan dan para malaikatnya ke langit dunia untuk mengabulkan doa para makhlukNya yang beramal pada saat-saat seperti itu.
Telepon berdering
dini hari
angkasa bening
hening
Turunnya Tuhan dan para malaikatnya bagi semesta cahaya yang dapat membuat keluasan dalam dada manusia.
semesta cahaya
buat cakrawala di jiwa
Dan Bambang Kempling seolah-olah menyindir kita dengan sebuah pertanyaan yang menggoda:
maka, adakah yang mendengar dering syahdu itu?
Adakah kita yang terbangun pada dini hari, saat angkasa bening hening, bersuci lalu, bermunajat, mengangkat telepon untuk menjawab Tuhan yang memanggil-manggil kita dengan janjiNya yang Mahapasti untuk menempatkan kita pada maqomam mahmuda?
Dan sebagaian dari kita mungkin hanya: selalu tergoda untuk mencoba menerka-nerka / dengan memberi tanda pada angka-angka / dalam lafal sesaat yang menyayat.
Dan seolah-olah Bambang Kempling mengajak kita untuk mendengar dan menjawab dering syahdu itu dengan pertanyaan yang sama yang seolah-olah menohok kita:
Adakah kau juga mendengar dering syahdu itu?
: tiba-tiba kita tersipu dalam gigil
Namun justru mungkin kita menjadi malu dibuatnya karena mungkin sebagaian dari kita disibukkan oleh angka-angka yang seolah menjamin kehidupan kita dan tak mempertanggunjawabkannya kepad Yang Mahakuasa.
Sajak Bambang Kempling
Telepon Berdering Dini Hari
telepon bordering
dini hari
angkasa bening
hening
semesta cahaya
buat cakrawala di jiwa
maka,
adakah yang mendengar dering syahdu itu?
Kita selalu tergoda untuk mencoba menerka-nerka
Dengan member tanda pada angka-angka
Dalam lafal sesaat menyayat
Adakah kau juga mendengar dering syahdu itu?
: tiba-tiba kita tersipu dalam gigil
Gresik, 9 November 2009
Religiusitas yang tak verbal pada Telepon Berdering Dini Hari
Sebuah Sajak Bambang Kempling
Beberapa waktu lalu masih di tahun 2009 ini saya masih teringat ketika memposting sebuah puisi-puisi-an saya ke milist apresiasi sastra. Ketika itu puisi-puisi-an tersebut mendapat respon dari Hudan Hidayat yang menyatakan bahwa puisi-puisi-an yang saya buat tersebut masih terlalu verbal.
Tapi bagaimana lagi, sebagai seorang awam puisi memang sering terjebak pada keverbalan gaya ungkap. Menyatakan A untuk sebuah maksud yang A pula. Menulis B untuk bermaksud menyatakan B pula.
Dalam sajak karya Bambang Kempling berjudul Telepon Berdering Dini Hari yang tergabung dalam Antologi Bersama Lidi Segala Kata seperti mengungkap religiusitas yang tak verbal. Jadi religiusitas itu tidak harus mengungkap kata-kata seperti shalat, zakat, puasa, dan lain-lain
Dalam konsep Islam sepertiga malam akhir atau dini hari sampai menjelang fajar adalah waktu kesunyian dari hiruk pikuk kesibukan dunia. Pada saat itulah turun Tuhan dan para malaikatnya ke langit dunia untuk mengabulkan doa para makhlukNya yang beramal pada saat-saat seperti itu.
Telepon berdering
dini hari
angkasa bening
hening
Turunnya Tuhan dan para malaikatnya bagi semesta cahaya yang dapat membuat keluasan dalam dada manusia.
semesta cahaya
buat cakrawala di jiwa
Dan Bambang Kempling seolah-olah menyindir kita dengan sebuah pertanyaan yang menggoda:
maka, adakah yang mendengar dering syahdu itu?
Adakah kita yang terbangun pada dini hari, saat angkasa bening hening, bersuci lalu, bermunajat, mengangkat telepon untuk menjawab Tuhan yang memanggil-manggil kita dengan janjiNya yang Mahapasti untuk menempatkan kita pada maqomam mahmuda?
Dan sebagaian dari kita mungkin hanya: selalu tergoda untuk mencoba menerka-nerka / dengan memberi tanda pada angka-angka / dalam lafal sesaat yang menyayat.
Dan seolah-olah Bambang Kempling mengajak kita untuk mendengar dan menjawab dering syahdu itu dengan pertanyaan yang sama yang seolah-olah menohok kita:
Adakah kau juga mendengar dering syahdu itu?
: tiba-tiba kita tersipu dalam gigil
Namun justru mungkin kita menjadi malu dibuatnya karena mungkin sebagaian dari kita disibukkan oleh angka-angka yang seolah menjamin kehidupan kita dan tak mempertanggunjawabkannya kepad Yang Mahakuasa.
Sajak Bambang Kempling
Telepon Berdering Dini Hari
telepon bordering
dini hari
angkasa bening
hening
semesta cahaya
buat cakrawala di jiwa
maka,
adakah yang mendengar dering syahdu itu?
Kita selalu tergoda untuk mencoba menerka-nerka
Dengan member tanda pada angka-angka
Dalam lafal sesaat menyayat
Adakah kau juga mendengar dering syahdu itu?
: tiba-tiba kita tersipu dalam gigil
Gresik, 9 November 2009
No comments:
Post a Comment