Pages

Tuesday, July 3, 2007

Spiritualisasi Sains

Monday, September 12, 2005

Tesis Huntington tentang benturan peradaban seperti memperoleh pembenar, namun hal itu masih memerlukan sejumlah bukti dan uji sejarah. Beberapa penanda memang bisa memperkuat tesis etrsebut seperti perkembangan terorisme dan perlawanan terhadapnya setelah hancurnya menara kembar World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001 lalu. Usai ''perang dingin'', kini dunia global memasuki konflik yang lebih hebat. Konflik antara peradaban Barat yang sekuler dan peradaban Timur yang spiritual.

Tapi, salah satu penyebabnya bukanlah seperti yang dibayangkan Huntington. Melainkan, lebih sebagai rasionalitas material yang ad hoc dalam dunia sains (iptek) dan logika spiritual dalam dunia religi yang seperti tak peduli pada realitas empirik. Kecenderungan demikian justru mengandaikan konflik yang lebih dahsyat dari konflik dunia selama era ''perang dingin''.

Jika kita bersedia membebaskan rasionalitas sains dari logika material, maka ia akan sampai pada wilayah spiritual --ketika prinsip dasar epistemologi sains adalah relativitas yang selalu menyisakan problem akibat reduksi, merupakan syarat bagi pemikiran ilmiah (sains). Sementara logika religi yang spiritual seperti mengabaikan data empirik ketika logika ini melakukan loncatan (ekstrapolasi) ke wilayah terjauh ke dunia metafisik --yang oleh kaum agawaman disebut wilayah ketuhanan. Dua model logika ini bisa didamaikan jika realitas alam dan kemanusiaan diletakkan dalam keutuhan otentiknya. Reduksi dalam logika sains mengandaikan adanya suatu entitas atau wilayah yang memang sengaja tak disentuh dan ditolak sebagai objek sains.

Sementara itu, logika religi yang spiritual mengandaikan pemaksaan dunia empirik tunduk pada doktrin-doktrin metafisik. Fakta lapangan menunjukkan kesatuan otentik antara wilayah empirik dan metafisik. Yang pertama sebagai medan dan ajang gerak naik memasuki wilayah metafisik yang spiritual, dan yang kedua tak akan dikenal tanpa yang pertama, sementara yang pertama tak mempunyai nilai tanpa yang kedua. Logika biner semacam ini menjadikan praktik ritual keagamaan terasing dari kehidupan empirik selain gagal menjalankan fungsi profetiknya bagi promosi kemanusiaan dan peradaban yang bermartabat. Sementara sains modern kehilangan makna otentiknya yang cenderung menjadikan manusia sibuk berebut harta dan kuasa, tak peduli hal itu mencederai peradaban dan kehidupan anak-cucunya sendiri.

Pesan Isra Mi'raj

Peristiwa Isra Mi'raj pada ke-14 abad lalu, selain membawa ajaran ritual shalat lima waktu, juga membawa pesan mengenai kesatuan otentik sains dan religi tersebut. Islam bukanlah sekadar religi dalam pengertian sains modern yang hanya mengajarkan bagaimana melakukan ritual yang langsung ditujukan pada Tuhan. Lebih luas lagi, Alquran dan Sunah Rasul mengajarkan ritual tentang bagaimana mengolah alam dan hubungan antarmanusia.

Ritual dalam bentuk yang pertama tidak lengkap dan tidak membawa kehidupan duniawi lebih bermartabat tanpa ritual dalam format kedua. Sementara ritual format kedua tak bermakna dan kehilangan arah (spiritual) tanpa ritual dalam bentuk pertama. Pemikiran intelektual Muslim generasi pertama seperti Al-Kindi, Ibn Sina, Al-Farabi, dan banyak lagi lainnya, tidak hanya menjadikan ritual pertama sebagai objek kajian tapi juga yang kedua. Berbagai ilmu dalam pemikiran generasi awal Islam yang belakangan disebut ''Ilmu Keislaman'' (Islamic Studies), meliputi sains dan religi dalam pengertian modern itu sendiri. Membatasi Islamic Studies hanya seperti yang dipelajari IAIN atau STAIN dan didakwahkan dalam berbagai mimbar khutbah dan pengajian selama ini, berarti melakukan reduksi secara sengaja seperti konsep religi dalam sains modern.

Upaya menyatukan ilmu dalam gugus Islamic Studies dan ilmu dalam gugus sains modern berarti mengukuhkan pandangan sekularisme itu sendiri. Karena itu, lebih strategis jika lembaga pendidikan tinggi Islam, baik negeri (yang belakangan berubah status menjadi universitas) atau swasta, kembali pada prinsip dasar ilmu otentik yang membagi sains atau ilmu ke dalam bidang ilmu teks (Alquran dan sunah) dan ilmu tentang ciptaan (alam, manusia, dan alam metafisik) --dengan segala dinamika kesejarahannya, jika kita tidak mau memakai taksonomi klasik tentang ilmu alam, ilmu sosial, dan ilmu humaniora.

Strategi pengembalian pada ilmu otentik itu bisa ditempuh melalui spiritualisasi sains di satu sisi dan fungsionalisasi religi pada sisi yang lain. Dari sini peristiwa Isra Mi'raj bisa dijadikan salah satu pemicu bagi pengembangan strategi tersebut. Peristiwa ini bukan sekadar ''wisata'' spiritual Nabi Muhammad SAW, tapi sekaligus merupakan ''wisata'' sains dan fungsionalisasi keduanya dalam kehidupan empirik manusia dalam sejarah duniawi.

''Wisata'' spiritual merupakan pemaknaan terhadap transendensi atas fakta empirik dalam kehidupan sejarah umat manusia ketika Nabi (baca; manusia) secara sengaja melakukan alienasi (pengasingan) terhadap kehidupan keseharian, agar dengan cara itu manusia bisa melihat secara spiritual perjalanan hidupnya yang dijalani selama ini. Dari langkah ini, seseorang bisa melakukan koreksi atau rekonstruksi kehidupannya sendiri.

Sementara ''wisata'' sains bisa dikaji dari perjalanan Nabi SAW menembus ruang dan waktu membebaskan diri dari perangkap gravitasi. Persoalan ini terus mengundang perdebatan ulama dan ahli sains modern hingga saat ini. Sementara perkembangan fisika teknik mulai menggagas tentang mesin waktu sehingga manusia bisa bertandang ke masa lalu dan masa yang akan datang, ahli sains masih belum menemukan teori tentang bagaimana membebaskan manusia dari hukum gravitasi itu sendiri.

Pertanyaan terbesar

Misteri peristiwa Isra Mi'raj bukan sekadar mukjizat atau kehendak Tuhan semata, tapi ia merupakan pertanyaan terbesar sains modern, khususnya fisika teknik. Keduanya mungkin bisa dipecahkan jika logika sains modern dibebaskan dari konsep materialisasi realitas, dan logika religi dibebaskan dari konsep sakralisasi Islamic Studies.

Dari sini, secara serentak dilakukan spiritualisasi sains modern dan fungsionalisasi ritual. Selanjutnya dapat dilakukan rekonstruksi pembidangan ilmu atau nomenklatur baru yang tidak lagi menempatkan sains sebagai ilmu sekuler dan ilmu-ilmu dalam gugus Islamic Studies sebagai ilmu setara dengan ilmu-ilmu dalam gugus sains modern.

Karena itu, tugas para ulama dan ilmuwan Muslim, terutama yang selama ini tergabung dalam lembaga pendidikan tinggi Islam seperti UIN, IAIN, dan STAIN, atau perguruan tinggi Islam swasta lainnya, untuk melakukan dan mengembangkan strategi pembelajaran berdasar otentisitas ilmu dalam pemikiran Islam. Rasionalitas sains modern pada umumnya berhenti pada satu titik material. Jika logika sains modern itu diletakkan pada kebebasan terbukanya, maka dimungkinkan rasionalitas sains modern itu akan terus mengalir memasuki wilayah spiritual.

Pada saat yang sama, ilmu-ilmu di dalam gugus Islamic Studies diletakkan pada kerangka ilmu yang profan dan terbuka. Dari cara ini kedua gugus ilmu yang selama ini diletakkan pada posisi terpisah dan saling bertentangan itu akan mencapai satu titik yang sama, yaitu pada wilayah dan dimensi spiritual itu sendiri.

Di sinilah perubahan status IAIN menjadi UIN bersama universitas negeri lainnya dan universitas swasta Islam bisa melakukan telaah bagi model konstruksi ilmu otentik. Selanjutnya dikembangkan strategi pembelajaran berdasar konstruksi ilmu otentik tersebut. Kerja demikian tentu membutuhkan waktu cukup lama, tapi bisa dimulai dari langkah sederhana dengan orientasi jauh ke depan. Langkah ini bukan saja penting bagi pengembangan lembaga pendidikan tinggi Islam itu sendiri, tapi bagi kepentingan peradaban dunia yang lebih manusiawi dan berpeluang bebas dari konflik. Dari sini Islam bisa menyumbangkan suatu bentuk peradaban yang lebih damai seperti keyakinan pemeluknya tentang fungsi Islam sebagai berkah bagi seluruh penghuni alam ini (rahmatan lil 'alamin) dan makna dari nama Islam itu sendiri.


Oleh : Abdul Munir Mulkhan, Spiritualisasi Sains dan Fungsionalisasi Religi, Harian Republika, 1 September 2005, hlm 1

No comments:

Sepetak Sajak

Kau tidak menyebut nama-Ku
kau menyebut namamu

(Gatoloco, Asmaradana, Goenawan Mohammad)

----

aku ingin mencintamu dengan membabi buta-
dengan sebotol racun yang diteguk Romeo
tanpa sangsi yang membuat kematiannya jadi puisi

aku ingin kau mencintaiku dengan membabi buta
dengan sebilah belati yang ditikamkan Juliet
ke dada sendiri yang membuatnya jadi abadi

(Aku Ingin, Autobiografi, Saut Situmorang)