Pages

Wednesday, November 14, 2007

Apa Kata Penyair:


Tentang Puisi-Puisi(An)Ku



Berangkat dari keragu-raguan dan kebutaan dalam menjelajah belantara sastra, saya mencoba menuangkan apa yang saya lihat, rasa, dan alami dalam kehidupan dengan memilih diksi-diksi yang ada dalam memori menjadi sebuah organisasi kata-kata yang aku menyebutnya sebagai puisi atau sajak. Hiruk pikuk benak yang seringkali tertarik ke depan dengan kecemasan dan harapan, tertarik ke belakang dengan lukaduka dan rinai tawa adalah wilayah expresif yang menjadi ladang ide dalam pembuatan puisi-puisian saya.


Latar belakang pendidikan dan lingkungan dimana saya menapakinya memang bukan dari sastra. Hanya berbekal semangat menyukai karya sastra termasuk puisi dan semangat untuk bisa menulis puisilah yang menjadikan organisasi kata-kata itu ada dan saya kumpulkan di blog http://dunia-awie.blogspot.com. Tapi entahlah apa organisasi kata-kata yang saya buat itu telah memenuhi kriteria untuk disebut sebagai puisi/sajak atau tidak. Atau bahkan mungkin masuk menjadi tulisan sampah yang layak masuk TPA.


Dengan menyisipkan sisa harap di sudut hati dan semangat untuk tetap berkarya (menuangkan ide ke dalam bentuk tulisan) saya berupaya untuk mencerap proses pembuatan puisi dengan membaca puisi-puisi karya penyair baik yang terkenal maupun puisi cyber dari nama-nama tak dikenal. Membaca apresiasi puisi oleh Hasan Aspahani, Penyair (http://sejuta-puisi.blogspot.com) dan ulasan-ulasan atau esay-esay puisi (http://www.puisi.net) dan beberapa sumber lain yang saya temukan di dunia maya.


Meskipun demikian cara-cara tersebut belum meyakinkan saya untuk membuat puisi yang “baik dan benar” meskipun Rainer Maria Rilke (Jerman) berkata dalam Surat Untuk Penyair Muda:

Tidak ada orang yang bisa menasehati dan menolongmu, tak seorang pun. Hanya satu-satunya cara yang ada: pergilah masuk ke dalam dirimu. Temukan sebab atau alasan yang mendorongmu menulis: perhatikan apakah alasan itu menumbuhkan akar yang dalam di ceruk-ceruk hatimu. Buatlah pengakuan pada dirimu sendiri, apa kau harus mati jika sekiranya kau dilarang menulis. Pertama-tama tanyakan dirimu dalam ketenangan malam: haruskah aku menulis? Menukiklah ke dalam lubuk dirimu agar kau mendapat jawaban yang dalam. Dan jika jawabannya "ya", jika pertanyaan yang khidmat tadi dijawab dengan sederhana dan mantap "aku harus", maka binalah dirimu sesuai dengan keharusan itu. Hidupmu, baik pada saat-saat yang paling remeh dan sepele sekalipun, haruslah merupakan bukti dan kesaksian dari dorongan menulis itu.

Berangkat dari ketidakyakinan tersebut saya mencoba mengirimkan beberapa puisi-puisian saya ke penyair yang saya ketahui melalui dunia maya untuk mendapatkan komentar dari mereka, orang yang memang bergelut dengan dunia puisi dengan karya-karya yang telah memenuhi media masa dan etalase-etalase pertokoan. Bukan untuk mencari legalitas tapi untuk memberikan evaluasi (kritik?) dan motivasi sehingga saya dapat membuat puisi-puisian yang lebih ”baik dan benar” lagi


Diantara penyair yang berbaik hati mau memberikan komentar tersebut adalah Penyair yang rendah hati asal Purworejo yang kini bekerja di Departemen Keuangan, Budhi Setyawan (http://budhisetyawan.wordpress.com) yang telah melahirkan beberapa karya diantaranya antologi puisi ”Kepak Sayap Jiwa”, ”Penyadaran”, dan ”Sukma Silam”.

Balasan atas permintaan komentar atas tulisan yang saya buat sebagaimana tertuang dalam email dibawah ini:


----------------------------------------------------------------------------------
From: budhi setyawan
MDaemon has confirmed that this message was sent by yahoo.com
To: Zawawi
Date: 30/10/2007 09:41 AM
Subject: Re: Give Comment on my Poems


Matur nuwun atas kiriman puisinya. beberapa puisi telah saya baca di milis penyair; ap-sas; Kabarindonesia.

dalam beberapa waktu kadang say ahanya jadi penikmat murni sajak atau puisi, dan tak bisa memberi balasan puisi atau komentar. yang seharusnya 'sejenak ku terlarut' eeh... malah menjadi 'renyai2 kata2mu memagutku.. menyergapku... dan ku tak mampu berkata apa'.

waktu saya baca di milis, terus terang saya takjub. sering saya 'bertemu' dengan untaian kata yang tak pernah terpikiran saya sebelumnya.

sebenarnya saya kan sama dengan mas zawawi, sebagai penulis. saya bukan kritikus sastra. jadi kalau memberi komentar, ya sebatas 'ujung kebodohan dan kedunguan' saya ya mas. (karena juga proses kreatif dan pengayaan pengalaman hidup mas zawawi lebih banyak dan bervariasi..)

seperti tadi saya tulis di atas, misal ada tertulis: 'aku terkapar tak berkabar'; 'merindu damai dengan sang nasib', dll... saya bertemu dengan untaian kata yang mengajak saya terkesima. (disini mungkin adanya 'pertemuan' dari maksud/jiwa penulis dengan pembaca/audience)

saya suka puisi2 tsb. saya menemukan ada 'alam' saya di situ yaitu gaya Chairil Anwar, Mustofa Bisri, Rendra. Pas, mengena, tak terlalu berbelit dan rumit. (karena saya kurang cakap, jadi kadang masih bingung baca puisi para sastrawan senior yang berhasil masuk koran KOMPAS edisi Minggu. mohon maaf)

yang jelas, semoga Insyaallah njenengan tetap konsiten dan semangat terus menulis.

menulis adalah nafas bagi seorang penyair/sastrawan.

salam,
*BS*
08158030529
------------------------------------------------------------------------------------
Karena kesibukan tidak semua penyair dapat memberikan komentar atas tulisan yang saya kirimkan dan saya bersyukur mendapatkan motivasi dan inspirasi dari penyair terkenal, Pak Budhi Setyawan yang dapat meluangkan waktunya untuk menuliskan komentarnya. Terima kasih Pak Budhi atas keramahtamahannya baik lewat email maupun SMS.


Kota Pudak, 14 November 2007

1 comment:

Anonymous said...

Mas Abu,
terimakasih untuk pujiannya pada tulisan saya. Malu sebenarnya. Saya hanya menuruti apa yg terbersit di hati saja. Entah meditasi atau apa, tapi saya memang senang mengamati perilaku kehidupan ini. Lalu mengolah dengan apa yg ada di kepala saya, juga dengan hati saya. Jika kepala tak sanggup, maka hati saya akan lebih banyak berkata-kata.

dan untuk tulisan, menulis saja sesuai yg diinginkan selama itu tidak mengganggu orang lain. Saya sendiri tidak begitu paham sastra, apalagi puisi. maka saya tidak menulis puisi.Semua yang saya tulis bukan sastra, hanya ungkapan-ungkapan saja.

Sepetak Sajak

Kau tidak menyebut nama-Ku
kau menyebut namamu

(Gatoloco, Asmaradana, Goenawan Mohammad)

----

aku ingin mencintamu dengan membabi buta-
dengan sebotol racun yang diteguk Romeo
tanpa sangsi yang membuat kematiannya jadi puisi

aku ingin kau mencintaiku dengan membabi buta
dengan sebilah belati yang ditikamkan Juliet
ke dada sendiri yang membuatnya jadi abadi

(Aku Ingin, Autobiografi, Saut Situmorang)