Pages

Thursday, July 3, 2008

Patah Arang

Ketika membaca Jawa Pos hari minggu, 25 Mei 2008 kemarin aku langsung menuju ke halaman “Budaya” yang biasanya memuat cerita pendek, puisi atau esai-esai tentang sastra dan budaya. Mata aku pun langsung tertarik pada artikel yang ditulis oleh D. Zawawi Imron, seorang penyair dan budayawan asal Madura yang dimuat pada kolom “Jeda” dengan judul Mencari Budi Utama,.

Dalam artikel tersebut D. Zawawi Imron menulis tentang peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional yang menurutnya pada masa itu yaitu 100 tahun yang lalu telah terjadi kesadaran kolektif masyarakat kita yang mungkin adalah kaum terpelajar dan intelektual untuk memberi harkat dan martabat kepada tanah air dan para penduduknya. Sebuah momen yang pantas dikenang oleh generasi bangsa kita saat ini.

Setelah membaca artikel tersebut aku pun tergelitik untuk “curhat” dengan mengirimkan pesan pendek kepadanya.

Aku merasa tidak dapat memaknai 100 Tahun Kebangkitan ketika melihat masih banyak kesusahan akibat mismanajemen pengelola bangsa”

Bagaimana tidak, ketika menyimak tontonan peringatan 100 Tahun Kebangkitan yang di hadiri orang nomor satu negeri ini yang ditayangkan diseluruh stasiun televisi dengan menampilkan budaya khas dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, memori aku langsung menampilkan imaji yang digambarkan oleh M. Junus Melalatoa dalam kumpulan puisinya Luka Sebuah Negeri (Obor, 2006). Betapa aku merasa hambar melihat tari-tarian dan demontrasi-demontrasi gerak yang dibawakan oleh ratusan atau mungkin ribuan orang yang mewakili daerah-daerah / suku-suku bangsa kita. Aku seperti melihat sebuah senyum getir dan kebahagiaan semu seorang ibu, senyum dan keriangan yang dipaksakan sedangkan dibalik dada menyimpan nganga luka dan ibu itu adalah ibu pertiwi.

Nganga luka yang diakibatkan oleh pembabatan hutan, eksploitasi sumber daya alam, korupsi, perebutan kekuasaan dengan berbagai cara, pengelolaan Negara yang tidak berorientasi untuk rakyat, eksploitasi tenaga kerja wanita, dan penyimpangan-penyimpangan yang membuat harkat dan martabat bangsa yang telah diawali kebangkitannya sejak 100 tahun yang lalu ditangan generasi kini seperti menjadi terkubur kembali. Belum lagi realitas sehari-hari yang langsung menyentuh kehidupan masyarakat yang paling dasar (pokok) seperti antrian LPG, antrian minyak tanah, kenaikan BMM, dan melambungnya harga-harga kebutuhan hidup. Ah, benarkah kita telah bangkit? Atau memang dulu, dulu sekali, 100 tahun lalu kita memang pernah bangkit. Namun saat ini, ditangan generasi mutakhir yang lebih mementingkan diri sendiri, keluarga sendiri, kelompok sendiri, golongan sendiri bukan memikirkan kepentingan seluruh rakyat, kita benarkah telah terperosok ke jurang dan tak mampu bangkit lagi?


Nokia 1100-ku yang telah pudar huruf-huruf dan angka-angka di keypadnya pun bergetar dan aku buka pesan yang ternyata adalah balasan dari D. Zawawi Imron:

“aku juga begitu. tapi kita tidak boleh putus asa untuk berjuang dengan akhlak mulia agar kita tidak termasuk orang yang menyetujui kerusakan”

Aku sangat setuju dengan nasehat tersebut. Aku memang tidak memiliki kemampuan untuk mengubah semua itu. Hanya mengubah diriku sendirilah yang bisa aku perjuangkan untuk tidak ikut serta dalam membuat kerusakan. Ya, membuat kerusakan, sebuah profesi manusia di dunia protes malaikat kepada Tuhan ketika diawal penciptaan manusia pertama.

Melihat realitas demi realitas yang terjadi dalam penyelenggaraan negara di negeri ini aku telah mengambil keputusan pribadi untuk tidak menggunakan hak memilih pemimpin dalam pemilihan-pemilihan yang digelar baik tingkat daerah maupun pusat sebagai bentuk ketidaksetujuanku terhadap proses kerusakan.

Memang begitulah suara-suara untuk mengajak-ajak kepada kebaikan dan meningalkan ketidakbaikan yang merupakan ruh dari setiap tulisan-tulisan D. Zawawi Imron yang aku sukai dan berusaha untuk tidak melewatkan setiap tulisannya yang aku jumpai untuk aku baca sebagaimana dikatakan dalam pesan pendeknya:.

“Jadi kalau saya menulis, tak lebih dari suara amar ma’ruf nahi munkar”

Diakhir artikel tersebut merupakan cermin dari suara-suara itu yang mengajak kita bangkit untuk ber-"budi" dan ber-"daya". Karena tanpa budi dan daya, sebuah bangsa hanya akan jalan-jalan di tempat, dan tidak akan mampu membuat sejarah gemilang yang pantas dibanggakan oleh anak cucu, katanya.

No comments:

Sepetak Sajak

Kau tidak menyebut nama-Ku
kau menyebut namamu

(Gatoloco, Asmaradana, Goenawan Mohammad)

----

aku ingin mencintamu dengan membabi buta-
dengan sebotol racun yang diteguk Romeo
tanpa sangsi yang membuat kematiannya jadi puisi

aku ingin kau mencintaiku dengan membabi buta
dengan sebilah belati yang ditikamkan Juliet
ke dada sendiri yang membuatnya jadi abadi

(Aku Ingin, Autobiografi, Saut Situmorang)