Saya pernah berpikir bahwa saling mengolok dan mengejek itu adalah pekerjaan anak -anak kecil. Kebiasaan seperti yang pernah dulu saya lakukan bersama-sama dengan teman-teman kecil lainnya di kampong ketika saya masih di dunia yang banyak menikmati suasana ceria. Bila ada anak yang suka menangis, maka akan kita olok-olok dengan sebutan “gembeng”. Bila ada anak yang berkulit hitam akan kita sebut ”ireng” atau bila ada anak yang berbibir memble akan kita olok-olok dengan sebutan ”ndomble” dan olok-olok lainnya yang seringkali membuat anak yang mendapat olok-olok tak jarang jadi marah, menangis, lalu laporan ke sang ibu. Lalu kita pun berlarian menghindari dampratan. Sedangkan saya sendiri sering mendapat olok-olok dari teman-teman kecil saya dengan sebutan nama salah satu agama yang dipeluk oleh masyarakat Indonesia. Hal tersebut karena saya dan ayah saya sering mengunjungi tempat ibadah yang berbeda dengan hampir seluruh tetangga di kampung.
Namun ternyata dugaan saya diatas salah. Bahwa olok-olok tidak hanya menjadi monopoli anak-anak. Saya beberapa kali menyaksikan program di salah satu stasiun televisi swasta sekumpulan orang-orang dewasa berpakaian rapi dengan atribut-atribut tertentu menempel di baju yang berwarna-warni yang menjadi simbol komunitas mereka saling mengolok, saling menyerang, saling menjatuhkan, saling ”ngeles”, saling membela diri, saling pamer seolah-olah komunitasnyalah yang telah berbuat banyak hal buat orang banyak, sedangkan kelompok lainnya enggak berbuat apa-apa. Pendeknya mereka seperti berjualan kecap yang nomor satu, tak ada duanya. Tentu dengan berbekal kamahiran berbicara. Ah saya jadi muak, lalu bertanya apa ini sekumpulan anak-anak yang saling olok-olok? Hanya substansinya saja yang berbeda. Padahal nama acaranya sungguh keren dan ilmiah tapi isinya seperti debat kusir yang tiada juntrungnya. Apa tidak ada cara lain yang lebih elegan untuk menunjukkan ”kenomorsatuan” komunitas mereka dan menarik simpati masa? Entahlah
Namun ternyata dugaan saya diatas salah. Bahwa olok-olok tidak hanya menjadi monopoli anak-anak. Saya beberapa kali menyaksikan program di salah satu stasiun televisi swasta sekumpulan orang-orang dewasa berpakaian rapi dengan atribut-atribut tertentu menempel di baju yang berwarna-warni yang menjadi simbol komunitas mereka saling mengolok, saling menyerang, saling menjatuhkan, saling ”ngeles”, saling membela diri, saling pamer seolah-olah komunitasnyalah yang telah berbuat banyak hal buat orang banyak, sedangkan kelompok lainnya enggak berbuat apa-apa. Pendeknya mereka seperti berjualan kecap yang nomor satu, tak ada duanya. Tentu dengan berbekal kamahiran berbicara. Ah saya jadi muak, lalu bertanya apa ini sekumpulan anak-anak yang saling olok-olok? Hanya substansinya saja yang berbeda. Padahal nama acaranya sungguh keren dan ilmiah tapi isinya seperti debat kusir yang tiada juntrungnya. Apa tidak ada cara lain yang lebih elegan untuk menunjukkan ”kenomorsatuan” komunitas mereka dan menarik simpati masa? Entahlah
No comments:
Post a Comment