Pages

Friday, September 5, 2008

Suku Terakhir

Menikmati angin semilir yang lewat melalui celah-celah jendela kaca yang agak terbuka dalam laju perjalanan bus antar kota dalam provinsi yang sedikit sarat penumpang membuat aku sedikit bisa menikmati suasana pagi hari ditengah himpitan para penumpang lainnya. Dari dulu aku memang paling tidak menyukai momen dalam perjalanan baik di kendaraan umum atau kendaraan pribadi, kecuali sudah sampai tempat tujuan baru lega rasanya.


Sambil sesekali menoleh ke kanan dan ke kiri, menangkap pandang apa yang bisa ditangkap dalam perjalanan mulai dari pohon-pohon, rumah-rumah, makam, kendaraan-kendaraan, tambak, sawah-sawah, kolam, masjid, rumpun ilalang, bunga-bunga liar yang indah yang kesemuanya itu seringkali memicu aku untuk memunculkan imajinasi-imajinasi lain dalam benak yang kadang membuat aku merasa sedih, gembira, rasa kasihan, tertawa, tersenyum, memanjatkan doa atau biasa-biasa saja yang tentu saja semua itu merupakan respon dalam hati. Seandainya semua itu terekspresikan tentu aku dipikir gila oleh orang-orang.


Tidak seperti biasa pagi itu ketika menoleh ke sebelah kanan kedua bola mataku menangkap sebuah bendera yang melambai-lambai lambat dengan banyak bagian-bagian yang terlipat karena hanya salah satu sisi saja yang ditali pada tiangnya (eh tentu saja salah satu sisi yang ditali pada tiang, kalau kedua sisi namanya bukan bendera tentunya ya, jadi spanduk he..he..). Karena bagian-bagian bendera banyak terlipat dari kejauhan aku sempat mengeja susunan huruf-huruf yang terdiri dari huruf T, huruf A, dan huruf I pada bendera tersebut. Setelah dekat dan melewati bendera tersebut ternyata ada tulisan salah satu nama partai politik. Huruf-huruf yang aku lihat tersebut ternyata adalah suku kata terakhir dari kata partai yang suku kata awalnya tak tampak wajah hurufnya karena bendera partai tersebut agak terlipat.


Setelah peristiwa tersebut benakku pun tiba-tiba mengkaji dan berimajinasi, ternyata saya baru sadar bahwa kata partai ternyata terdiri dari dua suku kata. Salah satu suku katanya tepatnya suku kata yang terakhir yang sempat aku baca dalam perjalanan tersebut (mohon maaf) ternyata pengucapan suku kata terakhir tersebut menurut aku seperti mengarahkan kita kepada sesuatu yang dianggap sampah, jorok, atau apalah dan tentunya bila segala sesuatu yang diasosiakan dengan kata tersebut merupakan hal yang tidak menyenangkan, mengecewakan umpatan dan sederet makna negatif lainnya.


Lalu akupun bertanya-tanya dalam hati, mungkinkah memang demikian adanya partai-partai yang ada dinegeri kita ini. Hanya menerapkan suku kata terakhir pada kata partai. Dengan janji-janji dari pilu ke pilu dari pemilu ke pemilu selalu saja hanya sebuah janji kosong. Bila telah tercapai keinginan mereka untuk berada di tampuk kekuasaan, janji-janji yang digembar-gemborkan itupun dilupakan begitu saja, hanya kata-kata sampah dan yang berada di tampuk kekuasaan sebagaimana telah kita saksikan bersama baik dimedia cetak dan media elektronik sangat mengecewakan kita yang mengolah harapan memiliki negeri yang bersih. Namun apa daya suku kata terakhir lebih menjadi fakta sehari-hari yang dilakonkan para manusia. Ah, hidup memang adalah perebutan. Perebutan kekuasaan, perebutan pengaruh, perebutan hegemoni, dan perebutan-perebutan lainnya yang dapat mempertahankan ego manusia. Hidup adalah perebutan.

No comments:

Sepetak Sajak

Kau tidak menyebut nama-Ku
kau menyebut namamu

(Gatoloco, Asmaradana, Goenawan Mohammad)

----

aku ingin mencintamu dengan membabi buta-
dengan sebotol racun yang diteguk Romeo
tanpa sangsi yang membuat kematiannya jadi puisi

aku ingin kau mencintaiku dengan membabi buta
dengan sebilah belati yang ditikamkan Juliet
ke dada sendiri yang membuatnya jadi abadi

(Aku Ingin, Autobiografi, Saut Situmorang)