Sehabis menikmati buka puasa pertamaku, aku meledakkan tawa lepas di telepon genggam. Tertawa dan tiba-tiba mengingatkan aku pada sesuatu makna sehingga sekaligus merenungkan salah ucap dari sebuah suara lucu yang berada di jarak antar kota antar provinsi. Sebuah suara lucu yang sering aku rindukan kebersamaannya.
Petang itu melalui Nokiaku yang sudah retak casingnya aku lemparkan sebuah pertanyaan setelah bertanya beberapa pertanyaan lain kepadanya seperti sudah belajar huruf? Sudah belajar angka? Sudah (di)baca(kan) cerita?
“Adik kok enggak puasa sih?
“Iya, Yah, sudah berduka puasa” jawabnya seolah merajuk.
Salah ucap yang mengundang tawa sekaligus tiba-tiba membuat aku merenung. Tertawa karena dari kata berbuka menjadi berduka yang secara makna harfiahnya berbeda sangat jauh, tapi dari segi susunan kata-katanya seperti tetap indah dan puitis karena mengandung asonansi a pada berduk(a) puas(a).
Merenung karena dari kata-kata yang salah ucap itu tiba-tiba aku teringat pada sebuah peringatan rasul bahwa banyak orang yang berpuasa tetapi hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja. Bukankah itu merupakan kedukaan dalam puasa, juga kedukaan dalam hidup bila susah payah kita melaksanakan puasa tapi pahalapun tak kita dapatkan apalagi yang lebih penting yaitu ridhoNya.
Bagiku menahan lapar dan haus memang suatu perjuangan yang tidak mudah. Apalagi membaca dan menahan batin dari segala kekacauannya merupakan perjuangan yang lebih ekstra keras lagi. Salah ucap itu telah membuat aku bertanya pada diri sendiri apakah aku termasuk yang berduka dalam puasa karena tidak mendapatkan apa-apa dalam puasaku, hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja? Semoga Allahu Subhanahuwata’ala mengampuniku, menolongku, dan membimbingku.
Petang itu melalui Nokiaku yang sudah retak casingnya aku lemparkan sebuah pertanyaan setelah bertanya beberapa pertanyaan lain kepadanya seperti sudah belajar huruf? Sudah belajar angka? Sudah (di)baca(kan) cerita?
“Adik kok enggak puasa sih?
“Iya, Yah, sudah berduka puasa” jawabnya seolah merajuk.
Salah ucap yang mengundang tawa sekaligus tiba-tiba membuat aku merenung. Tertawa karena dari kata berbuka menjadi berduka yang secara makna harfiahnya berbeda sangat jauh, tapi dari segi susunan kata-katanya seperti tetap indah dan puitis karena mengandung asonansi a pada berduk(a) puas(a).
Merenung karena dari kata-kata yang salah ucap itu tiba-tiba aku teringat pada sebuah peringatan rasul bahwa banyak orang yang berpuasa tetapi hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja. Bukankah itu merupakan kedukaan dalam puasa, juga kedukaan dalam hidup bila susah payah kita melaksanakan puasa tapi pahalapun tak kita dapatkan apalagi yang lebih penting yaitu ridhoNya.
Bagiku menahan lapar dan haus memang suatu perjuangan yang tidak mudah. Apalagi membaca dan menahan batin dari segala kekacauannya merupakan perjuangan yang lebih ekstra keras lagi. Salah ucap itu telah membuat aku bertanya pada diri sendiri apakah aku termasuk yang berduka dalam puasa karena tidak mendapatkan apa-apa dalam puasaku, hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja? Semoga Allahu Subhanahuwata’ala mengampuniku, menolongku, dan membimbingku.
No comments:
Post a Comment