Mengeja Orgasmaya,
Sebuah Tadarus Dari Orang Tak Saleh
Oleh: Abu Salman
Sebuah Tadarus Dari Orang Tak Saleh
Oleh: Abu Salman
Sebagai seorang penyuka dan penikmat puisi yang tak saleh alias seorang awam puisi. Yang tentu tak bisa kusuk dalam tadarus dan menafsir kitab puisi, maka bagi saya menikmati karya puisi itu seperti menempuh suatu perjalanan. Perjalanan dari kota ke kota. Perjalanan menelusur dari kata ke kata. Dari frasa ke frasa. Kadang seperti melaju di jalanan yang lempeng-lempeng saja tanpa kesan dan tanpa hambatan, terkadang dapat nemu berbagai menu rasa dari tangkapan indra yang terangsang oleh berbagai pemandangan dan peristiwa.
Demikian pula ketika menikmati suatu karya puisi terkadang berlalu begitu saja tanpa tersisa apa-apa sehingga terkadang timbul juga rasa kecewa. Terkadang muncul pula rasa-rasa dalam dada yang tidak tahu entah itu apa. Begitu sulit menjelaskannya. Namun terasa begitu berkesan. Seperti ingin mengulang-ulang pembacaan atas karya-karya yang menyentuh dan menggetarkan atau mengeluh dan mentertawakan tentang sebuah hidup dan kehidupan dan mungkin juga sebuah kepulangan.
Mungkin adanya kesesuaian dengan imaji-imaji yang saya tangkap dari diksi-diksi yang tersaji dengan mimpi dan melankoli atau kenangan yang tersimpan atau berbagai angan dan ingin yang terpendam dalam relung terdalam. Mereka-duga tema dan makna dari paduan rima dan kata, metafora dan frasa. Sehingga seperti mengaduk-aduk berbagai rasa seperti sukabahagia, lukadukalara, sendupilu, pedihperih, dan rindudendam atau bahkan memotivasi untuk berpikir atau melaksanakan sesuatu yang sesuai atau tak sesuai dengan set mind saya sebelumnya.
Tentu saja bukan suatu karya puisi yang buruk bila tak secuil kesan pun timbul dari pembacaan yang saya lakukan, karena rasa-rasa yang saya punya bukanlah sebuah kriteria. Kriteria untuk menjustifikasi sebuah puisi yang baik atau puisi yang tak baik. Dan memang bukan bidang dan hak saya untuk menilai baik dan buruknya suatu karya puisi. Sebagai penyuka dan penikmat puisi saya hanya merasa cocok atau tidak cocok dengan suatu karya puisi.
Hal itulah yang mendasari saya untuk berlama-lama “menghabiskan” sebuah kitab puisi atau kembali meletakkannya di tempat “terhormat”. Sebuah almari sederhana tempat “koleksi” buku puisi yang tak begitu banyak kuantitasnya tapi ingin selalu saya upayakan bertambah setiap waktunya.
Kegagalan menyelami ruh puisi tersebut bukanlah karena karya puisi yang saya baca merupakan karya yang tak baik, mungkin lebih karena faktor tak ada amunisi file-file yang tersimpan dalam memori saya sebagai bahan dalam memikir, menafsir, dan “mendzikir” kata-kata sang penyair.
Setelah menunggu beberapa lama, dengan penuh harap-harap cemas. Akhirnya datang juga. Sebuah paket kiriman bersampul Harian Pagi Batam Pos berisi sebuah kitab puisi dengan tajuk ORGASMAYA sebuah kumpulan sajak dengan tanda tangan pengrajin aslinya Hasan Aspahani (HAH) di lembar kedua setelah cover depan. Tentu nama seorang jurnalis yang juga penyair atau penyair yang jurnalis ini, serta pengelola blog terkenal http://sejuta-puisi.blogspot.com/ dan http://www.hasanaspahani.com/ adalah sebuah nama tak asing bagi penikmat cybersastra dan penikmat puisi koran minggu.
Tentu saja bersuka cita, siapa yang tak? Dapat kiriman free book yang semula pingin memiliki (baca: membeli). [Thanks a lot ya Bang HAH saya tunggu kiriman yang lainnya he..he..maksud saya terbitan karya berikutnya].
Dengan rasa berdebar dan hati tak sabar segera saya jelajahi lembar demi lembar Orgasmaya. Ternyata saya sungguh betah untuk berlama-lama menikmatinya. Terpesona oleh indahnya paduan kata-kata, dengan rima yang dijaga dan tema-tema yang di usung berbagai ragamnya serta expresi yang kaya dengan berbagai gaya ucapnya. Mulai dari yang religius, politik, sampai dengan yang filsafat.
Mungkinkah karena saya “rajin” menikmati puisi-puisi sang penyair di blog sejuta puisinya (dan copy paste tentu saja) sehingga bisa menikmatinya? Meskipun menurut Akmal N. Basral (jurnalis Tempo) kadang-kadang kelihatan diksi pilihan masih kerap “kelelahan” juga mengandung beban makna, katanya pada kolom komentar di sampul belakang (blurb).
Kitab puisi yang diterbitkan oleh Yayasan Sagang Pekanbaru, pada cetakan pertama bulan November 2007 yang sedang saya nikmati ini terdiri dari vi+119 halaman. Terbagi dalam tiga bagian yaitu bagian pertama Bibirku Bersujud Di Bibirmu, bagian kedua Monografi Mitologi, dan bagian ketiga Risalah Dongeng. Keseluruhan terdapat 74 buah karya puisi dalam kitab puisi tersebut. Jumlah masing-masing bagian adalah 32 buah puisi pada bagian pertama, 21 buah puisi pada bagian kedua, dan pada bagian ketiga juga terdapat 21 buah puisi.
Seperti biasa ketika menikmati sebuah kitab puisi, saya selalu punya keinginan yang tak pernah bisa bertahan, yaitu ingin membaca puisi-puisi dalam suatu kitab puisi secara tertib dan berurutan mulai lembar ke satu, kedua dan seterusnya. Namun selalu saja digoda oleh puisi-puisi pada halaman-halaman berikutnya. Lalu, pada akhirnya selalu saja membolak-balik halaman-halaman berikutnya , mencari sesuatu yang mungkin lebih menarik hati.
Tidak seperti karya-karya puisi yang telah saya nikmati lainnya, pada pengantar penulis dibuat berupa imajinasi wawancara antara sang penyair dan Pablo Neruda, penyair yang disukai oleh HAH, berjudul Seandainya Saya Bertemu Pablo Neruda. Menariknya dalam pengantar tersebut menurut HAH puisi tak perlu diantar (diberikan pengantar) karena dapat mengganggu kemandirian sajak. Mungkin pengantar dapat mengarahkan penikmat sebuah karya pada tafsir tertentu, tidak bebas lagi.
Namun, sebagai seorang awam puisi, bagi saya sebuah pengantar dalam kitab puisi sangat saya harapkan dan saya biasanya sangat menikmatinya. Ibarat seorang pengelana di rimba kata-kata maka sebuah pengantar bagi saya adalah salah satu petunjuk arah dalam peta perjalanan. Petunjuk arah yang dapat memekarkan imajinasi selanjutnya sehingga dapat mencegah saya tersesat di rimba frasa.
Bibirku Bersujud Di Bibirmu
Dalam kamar yang lengang, saya pun mulai mencoba menikmati karya-karya HAH. Pada bagian pertama Bibirku Bersujud di Bibirmu langsung saya coba selami sebuah puisi berjudul Tak Tahu Sebab, Apa Sebab, Kita pun Lupa Berbagi Jawab.
Membaca bait demi bait sajak ini mengingatkan saya pada sebuah perjalanan hidup manusia. Betapa hingar bingar dunia membutakan dan melupakan kita. Kita seperti berlari dikejar dan mengejar yang maya.
INI perahu terus berlayar. Kita jauh terlempar.
Pada pulau tak lagi berkabar. Kita jatuh terdampar.
Tiba-tiba saja ketika menyadari,
Batang-batang kelapa rebah, menjemput laut.
Tiang-tiang dermaga patah, kita rubuh, disentuh maut!
Kita seperti terbangun dari mimpi pahit. Merasa seperti hambar dan terlempar dari dimensi yang entah dan menuju ke dimensi yang penuh teka-teki dan misteri. Tak kita kenali kecuali dari konsep-konsep dan dogma-dogma yang membuat kita seperti terpenjara dan selalu menyisakan tanya. Sibuk berspekulasi dan berdebat. Hingga kita Tak Tahu Sebab, Apa Sebab, Kita pun Lupa Berbagi Jawaban hakikat hidup yang sebenarnya.
Ah, kita sudah lama yatim, ditinggal Bunda Penggambar Peta,
Kini tak tahu sebab, apa sebab, kita pun lupa berbagai jawab.
Menelisik sajak berikutnya Tak Ada Penjual Kartu Pos di Halaman Masjid Tua Itu entah mengapa tiba-tiba saja saya teringat sebuah stasiun TV yang menayangkan fragmen adzan magrib, lalu lalang para manusia berkendara dijalanan, hanya beberapa yang terpanggil bersujud. Lalu sebuah pertanyaan muncul dimanakah kita berada?
”Lihat, ada paku liar, jadi gulma lebat, di pucuk ikamat,”
tapi tak ada yang tergesa, tak ada yang ingin bersegera.
Suasana kamar lengang dan terkadang hanya suara sedikit berisik dari cicak-cicak yang berkejaran di dinding kamar masih setia mengiringi saya menikmati sajak berikutnya. Orgasmaya. Sebuah sajak panjang dua halaman yang juga dijadikan judul karya sang penyair dari Batam ini.
Membaca sajak ini beberapa kali masih tak menemukan ide apa sebenarnya yang diusung dalam sajak ini. Lalu saya pun mereka-duga sambil membacanya lagi dan lagi. Mungkinkah ini rasa ekstase dari sang kita/aku lirik kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang lainnya? Dengan lompat trampolin sebagai salah satu metaforanya. Mungkin kunci kalimat pada sajak ini menurut saya adalah:
”Sebab pada kita, mereka-reka kita:
Persetubuhan Terindah di dunia”
Persesukmaan pertama kita
di bentang ranjang maya, lengang angkasa raya.
Ya sebuah ”pertemuan” sang penyair dengan Tuhan atau mungkin yang lain, yang melahirkan rasa ekstase bertempat di ranjang maya dan kondisi lengang atau sunyi di angkasa raya.
Rasa ekstase yang melegakan dada. Sebuah beban rasa rindu dan gairah bertemu di dada membuncah pada akhirnya menemui ”klimaksnya”.
KAU memelukku seperti Hawa pada Adamnya
Lelaki yang tak beribu, yang tak tahu bagaimana
Melelakikan tubuhnya pada perempuan Hawanya.
”Ke dadaku saja. Ke dadaku saja. Ke dadaku saja”
Sajak berikutnya yang menarik bagi saya adalah Bibirku Bersujud di Bibirmu yang juga dijadikan subjudul pada bagian pertama. Menyimak sajak ini tak pelak mengingatkan saya pada peristiwa tsunami di Aceh yang menewaskan ribuan orang. Gelombang maharaksasa yang tak pernah diharapkan oleh siapapun kedatangannya.
ADUHAI laut yang mengenal semua kapal, kau tahukah?
Pada separuh luruh usia tubuh, ada sepertiga subuh
yang tak pernah hendak menunggu jangkarmu berlabuh.
Namun kehendak kita tak selalu sama dengan kehendak Yang Kuasa, maka:
Siapa mengarak riak jadi mahagelombang maharaksasa?
AKU semakin tak sanggup. Dengar. Dendang itu semakin sayup:
Kenapa harus gelombang,
gelombang,
gelombang,
gelombang
gelombang,
Kenapa harus gelombang,
gelombang,
gelombang,
gelombang,
gelombang,
gelombang.
Kenapa harus gelombang.
Tema lain yang diusung oleh sang penyair adalah tentang ”kepulangan”. Pada sajak Dari Mana Memulai dan Ke mana kembali seolah-olah mengingatkan kita dari mana kita berasal dan kemana kita nantinya kita kembali. Akan saya kutip secara utuh sajak tersebut yang menggunakan metafora gempa sebuah bencana alam yang sering disinyalir sebagai peringatan dari Tuhan kepada umat manusia.
TAPI, aku cuma gempa, yang singgah dari kota ke kota
Mungkin dengan sedikit getar, jauh dari dalam tanah ini,
bisa sekejap mengingatkan, dari mana dulu kau memulai.
Tapi, aku Cuma gempa, yang singgah dari kota ke kota.
Mungkin dengan gerak sebentar, jauh dari ulu bumi ini
Bisa sekedar mengabarkan, kemana nanti kau kembali
Tema serupa dengan sajak diatas adalah ada pada sajak Malaikat Pencopet Nyawa, sebuah personalan hidup yang diangkat dengan jenaka. Menyimak sajak ini saya jadi teringat puji-pujian dari load speaker yang berkumandang dari masjid atau mushola di tempat sekitar saya.
Puji-pujian yang dilagukan setelah adzan dikumandangkan dan menjelang pelaksanaan shalat sebelum iqomat.
...................
Ojo siro banget bungah
Ono ing alam donya
malaikat juru pati
lirak-lirik marang siro
Olehe nglirik si malaikat
Arep njabut nyowo siro
Olehe njabut angenteni
Dawuhe kang Maha Mulya
..................
lirak-lirik marang siro
Olehe nglirik si malaikat
Arep njabut nyowo siro
Olehe njabut angenteni
Dawuhe kang Maha Mulya
..................
Gaya jenaka sajak tersebut dapat saya kutipkan dibawah ini:
”HALO, Bos, apa kabar?
kata seorang berwajah
seram menyapa.
”Ah, jangan
pura-pura lupa, Master!”
Karena ada yang harus dipertanggunjawabkan dalam hidup setelah kehidupan di dunia, maka membuat saya lirik berhati-hati.
DI kedai kopi,
saya disambut
ciuman janda pelayan,
saya juga dapat rayuan,
”Malam ini menginap
di sini ya, Tuan?
Saya tak berani mengiyakan,
Soalnya di ujung pasar
Kulihat berdiri
Malaikat Pencopet Nyawa.
Seperti sebuah ketakutan yang dijenakakan, kita simak lanjutannya.
Sesekali kupergoki matanya
Melirik ubun-ubun saya
Saya yakin dia sedang
Mengincar saya
Tapi saya takut
Beliau hanya
Salahsasaran
Pada bagian pertama karya ini diakhiri dengan sajak-sajak yang berjudul awal kisah, seperti Kisah Kota Penjara, Kisah Kota Hujan, Kisah Kota Mimpi, dan lain-lain seperti sebuah cerita yang berkisah tentang suatu peristiwa sesuai dengan judul-judulnya.
Monografi Mitologi
Monografi Mitologi merupakan bagian kedua dari kumpulan sajak Orgasmaya ini. Asing dengan kata-kata tersebut saya mencoba membuka Kamus Besar terbitan Balai Pustaka. Menurut kamus tersebut Monografi adalah tulisan (karangan, uraian) mengenai satu bagian dari suatu ilmu atau mengenai suatu masalah tertentu. Sedangkan Mitologi adalah ilmu tentang bentuk sastra yang mengandung konsepsi dan dongeng suci mengenai kehidupan dewa dan makhluk halus dalam suatu kebudayaan.
Secara sederhana mungkin yang dimaksud Monografi Mitologi dalam bagian ini adalah tulisan (krangan, uraian) yang tentu saja dalam bentuk puisi tentang konsepsi atau dongeng atau muasal sesuatu.
Menyimak bagian ini saya tertarik dengan sajak yang berjudul Mitologi Cinta. Sajak itu seperti berkisah bahwa asal muasal Cinta yang tumbuh dihati manusia adalah dari malaikat yang bersemayam dalam hati manusia. Ditugaskan oleh Tuhan untuk mengikuti manusia pertama yang diusir dari surga hingga sampai kini karena para malaikat itu akhirnya betah juga dengan tugas-tugasnya.
...............maka dua malaikat
meminta agar mereka ditugaskan saja mengiringi
Bunda Hwa dan Bapa Adam ke dunia tapi Tuhan hanya
Mengizinkan keduanya terikut di dalam hati dan
Tuhan pun mengubah dua malaikat itu menjadi Cinta
yang serta merta menghadirkan rindu yang pertama
sehingga terciptalah pertemuan yang pertama
lalu terselenggaralah persetubuhan yang pertama dan
ketika diminta kembali dua malaikat itu meminta
diri untuk meneruskan tuga yang hingga kini
tak pernah membuat keduanya jenuh menunaikannya.
Lalu dalam hati saya pun bertanya-tanya, apakah itu tentang cinta yang dilembagakan dengan segala kriteria dan persyaratannya atau segala cinta yang terkadang melibatkan birahi? Entahlah.
Masih ada 20 sajak lagi dalam bagian Monografi Mitologi ini. Dalam sajak-sajak dibagian ini rata-rata hanya ada satu atau dua kalimat karena hanya terdiri dari satu atau dua tanda titik yang mengakhiri kalimatnya. Namun tiap-tiap kalimat adalah rangkaian kalimat-kalimat yang sangat panjang yang mungkin akan cukup untuk bisa dibuat beberapa kalimat. Mungkin sang penyair sengaja membuat kalimat-kalimat panjang dalam sajak-sajaknya sebagai bentuk permainan teks.
Risalah Dongeng
Masih betah menjamah. Saya teruskan menyusuri kata-kata yang disajikan dalam Orgasmaya menuju bagian ke tiga.
Saya langsung terpana oleh permainan kata-kata dalam sajak pertama bagian ketiga, Dongeng Pintu. Sajak ini langsung memunculkan imajinasi saya pada para tunawisma dan orang-orang tak beruntung yang sering ditayangkan di media. Sebuah persoalan klasik berakar dari kemiskinan yang tak kunjung usai di negara berkembang seperti negeri kita tercinta ini.
Simaklah betapa sang penyair, lagi-lagi mengangkat persoalan hidup, kesulitan hidup manusia dengan jenaka atau mungkin semacam ironi.
Dia menyebut rumahnya: rumah pintu.
sebab atapnya pintu, lantainya pintu,
dindingnya pintu, langit-langitnya pintu,
jendelanya pintu, apalagi pintunya: tetnu saja pintu!
Ketika pertama kali menempati rumah itu,
sang hujanlah yang pertama kali bertamu.
Lalu pagi hari ia nyalakan matahari.
Klik. Saklar dipencet sekali, lalu teranglah sepanjang hari.
Kalau terlalu menyegat panas, dia bentangkan gorden awan.
Dan nasib memang tak pernah berpihak, meski dalam kondisi hidup yang serba sulit tetap saja harus terusir dengan alasan pembangunan atau ketertiban, maka:
SEKARANG dia menjadi pengelana. Mengembarai waktu.
Mengendarai kaki sendiri. Memedomani hati sendiri.
Apakah kehidupan yang tak pernah berpihak itu akan selamanya tak mau kompromi dengan mereka hingga tiba waktunya: Mencari rumah yang tanpa pintu. / Rumah yang entah dimana, / tapi dia tahu: di sana sudah lama ia ditunggu.
Menikmati sajak-sajak pada bagian ketiga ini mengingatkan saya pada kumpulan puisi dalam Celana Pacar Kecilku Dibawah Kibaran Sarung-nya Joko Pinurbo. Rasa-rasanya seperti ada ”taste”nya Jokpin dalam Risalah Dongeng ini. Jenaka dan berirama namun tetap mengena.
Dalam Dongeng Penyair Pemburu Kaos Oblong misalnya menohok para politikus dengan jenaka pula.
”Anda kenal dengan dua badut itu?”
”Tidak, tapi katanya mereka berdua sekarang buta.
Karena ada yang mencoblos kedua matanya....”
Bait berikutnya mengingatkan saya pada Pinoccio tokoh anak dalam film yang akan memanjang hidungnya bila berbohong.
”Coba perhatikan lidahnya...”
”Kenapa lidahnya?”
”Makin lama makin panjang”
”He he he. Itulah akibatnya, kalau kebanyakan dusta”
Tak ada jejak waktu yang tertuang dalam sajian puisi-puisi ini sehingga akan sulit bila saya ingin menarik puisi-puisi tersebut dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Mungkin memang tak terkait dengan peristiwa-peristiwa diluar diri penyair, mungkin merupakan hasil perenungan-perenungan dari dalam diri sang penyair atau peristiwa diluar diri penyair yang terkait memang sebuah peristiwa ”abadi”, yang terus menerus terjadi.
Dalam Dongeng Empat Musim, sajak yang menjadi bagian ketiga Risalah Dongeng mengingatkan saya pada peristiwa politik di Indonesia.
Ada empat musim di negeri itu.
Pertama, musim berdusta,
Kedua musim berjanji,
Ketiga musim berpura-pura
Keempat musim lupa.
Untuk memperoleh kekuasaan, para politikus akan mulai membangun image dirinya, bahkan yang sekian tahun lalu bergelimang darah rakyat pun akan membuat citra positif melalui iklan dan tulisan. Dengan uang yang bertumpuk tentu hal itu akan mudah dilakukan.
Lalu dengan janji-janji pun ditebarkan untuk memperoleh simpati dan suara. Mereka pun berpura-pura baik dengan memberikan segala sesuatu yang seolah-olah diperlukan rakyat. Tiba saatnya tujuan telah tercapai mereka seolah-olah lupa akan janji-janjinya untuk memprioritaskan rakyat. Dan janji pun tinggal janji kosong.
Sajak berikutnya dalam bagian ketiga yang menarik minat saya adalah Dongeng Tukang Kunci.
Dalam sajak ini penyair seolah ingin mengemukakan bahwa untuk mengetahui segala sesuatu harus ada rasa curious atau ingin tahu.
”Tuan, buatkan saya sebuah duplikat kunci
yang bisa membuka semua pintu buku.”
Si tukang kunci lalu mengembil sesuatu
dari pikiran si pemesan lalu menempanya
menjadi kunci berbentuk Tanda Tanya,
(Notes: mungkin salah ketik pada kata ”....buatkan saya sebuah....”diatas tertulis buatkah)
Ah, penat seperti berkelebat saat hampir mendekat di akhir kalimat. Dengan ditutup sebuah sajak berjudul Dongeng Penyair Mau Mudik seolah bercerita tentang penyair yang kehabisan kata-kata. Ditinggalkan oleh kata-kata sehingga tidak hanya menunggu datangnya ide. Namun mengejar ide-ide untuk dituangkan dalam sajak.
................
LALU, kata-kata itu berpamitan meninggalkan penyair yang pura-pura
tabah itu, padahal hatinya sungguh gundah sangat gulana. Diam-diam
sebenarnya dia ingin menguntit kemana gerangan rombongan kata itu
pulang, dimana rumahnya dan siapa orang tuanya........
Meski penat betapa terasa nikmat, berada di kamar sunyi menikmati sajian diksi-diksi dalam puisi mengantarkan saya menyelami diri sebagai bagian dari puisi kehidupan.
Gresik, November 2008
No comments:
Post a Comment