Pages

Monday, September 3, 2007

Bicara Puisi pada Seorang Bayi

Waktu terasa beringsut seperti siput. Duduk gelisah berganti-ganti posisi di kursi paling pinggir dalam deret ke empat sebelah kanan dibelakang Sopir Bus Patas Trigaya Putra jurusan Surabaya – Semarang diantara orang-orang yang terlelap mereguk mimpi-mimpi indah mereka sambil bersandar dikursi yang memberi kenyamanan perjalanan dengan tersedianya ruang longgar untuk bebas menggerakkan kaki kedepan selonjor atau kebelakang menekuk lutut memasukkan kaki dibawah kursi. Bus melaju seolah-olah tidak memahami betapa rinduku telah membuncah kepadanya. Menelusuri liku-liku jalan Daendles dengan debur ombak yang terkadang terdengar sayup-sayup dikalahkan oleh deru mesin dan remang-remang terlihat dari balik kaca ombak – ombak kecil tak jemu -jemunya menuju ke pantai serta kerlap-kerlip lampu dari kapal-kapal para nelayan terlihat jauh dari pantai memang dapat sedikit menghibur akumulasi kegelisahanku yang beberapa hari ini selalu memikirkannya, memendam perasaan rindu kepadaya.
Tidak seperti hari-hari biasa sebelumnya, betapa tidak dalam setiap aktivitas apapun yang aku lakukan hampir setiap saat tiba-tiba dia selalu muncul dalam benakku mengisi ruang batinku menjadi semacam rindu yang membara untuk selalu bersama dengannya, bercanda ria bersama, menyanyikan lagu ”kring-kring goes-goes” kesukaannya bersama-sama, membuatkannya susu di dot bergambar seekor induk bebek dan beberapa anak-nakanya kesukaannya, menyuapinya dengan ikan ceker yang sangat ia suka, nonton kartun spongebob yang ia sebut sebagai spongbob bob bob bob dengan menambah bunyi bob, bob beberapa kali di belakangnya dan kartun casper favoritnya. Semua itu memenuhi ruang benakku dengan frekuensi yang tak terhitung jumlahnya.
Perjalananku yang kesekian kalinya ini selama hampir beberapa tahun belakanngan terasa lebih lama dari biasanya. Mungkin karena perasaan ingin segera memberikan peluk dan cium kepadanya membuat bumi seolah mengurangi kecepatan untuk berputar pada orbitnya. Dalam gundah gulana tiba-tiba mengingatkanku pada berita tadi sore tentang gempa bumi di Jakarta, kemenangan pasangan salah satu pihak dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta dari lawannya dalam perebutan kursi kekuasaaan daerah propinsi, dan seseorang yang kukenal lewat sebuah mailing list sebagai seorang wartawan dan budayawan senior dengan beberapa karya besar yang sudah menginternasional. Entah mengapa tiba-tiba timbul dalam benakku menghubung-hubungkan peristiwa tersebut dan ingin mengirimkan pesan pendek kepadanya. Lalu Nokia 1100 tuaku yang telah hilang semua huruf, angka, dan simbol -simbol di keypadnya pun aku keluarkan dari saku dan jari jempolku dengan lincah dan cepat mulai bergoyang mengetik pesan meskipun tidak ada ada huruf, angka, dan simbol-simbol lainnya dalam keypadnya.
”Hasil pemilihan Gubernur DKI diikuti oleh gempa bumi di Jakarta, apakah ini sebuah pertanda?”
Sekilas kulihat tulisan dalam layar hitam putih Nokiaku yang telah pudar warna biru casingnya ”Messege Deliver to 08595956xxxx” sebelum kumasukkan kembali ke saku jaket Wrangler biruku yang telah pudar pula warnanya.
Bus terasa masih merangkak seperti kura-kura. Kembali Aku mencoba menenangkan diri dan berupaya menikmati perjalanan ini. Mengalihkan perhatianku dengan menolehkan kepala ke kanan melihat remang-remang lautan, terkadang pepohonan terkadang rumah-rumah penduduk silih berganti. Tiba-tiba kembali benakku merindunya.
”Ayo Nak, jalan-jalan ke Simpang Lima”
Ajakku kepada buah hatiku Sal yang masih menginjak 2 tahun 4 bulan pada bulan Agustus ini pada suatu sore sehabis Maghrib di ruang tamu ketika Ia sedang menaiki Truck mainan kesayangannya yang sering Ia pakai berputar-putar dalam rumah dari ruang tamu sampai ruang keluarga atau bahkan sampai ke dapur. Terkadang Sal menabrakkannya pada dinding tembok yang selalu membuat aku miris melihatnya karena melihat ia hampir jatuh kebelakang. Minimnya perabotan dalam rumah membuatnya lebih leluasa bermain-main dengan trucknya tersebut. ”Jalan-jalan beli es hem, Yah. Ma!, jalan-jalan beli es hem” sambung Sal kepada aku dan bundanya dengan mimik antusias, terlihat binar mata gembira dan lesung pipit kanannya nampak indah saat tersenyum. Jagoanku semata wayang dengan rambut gondrong agak kemerahan ini memang suka banget dengan ice cream. Bila diajak (memang dia akan selalu ikut) ke swalayan setelah putar-putar mencari bahan kebutuhan termasuk susu bebas laktosanya dia akan menuju box besar berjajar dua atau tiga dengan pintu geser sebagai pembuka disudut kanan swalayan. ”Kemarin dah rasa strawberry, sekarang ambil yang coklat aja, ya nak” tawar bundanya kepada Sal. Sudah bisa kutebak Sal akan mengatakan ya, karena semua rasa Ia suka.
Dada sebelah kiriku bergetar dengan sumber getaran dari saku jaketku, ku keluarkan Nokia tuaku dari saku jaket, kubaca sebuah pesan dilayar.
”Semua telah diatur sesuai kehendakNya” sender: 08595956xxx
Sebuah jawaban yang terlalu pendek dari pertanyaan yang membutuhkan uraian panjang. Atau mungkin aku berharap terlalu jauh dengan jawaban-jawaban yang diluar akal pikiran. Namun demikian rasanya jawaban itu memiliki kedalaman makna. Suatu simbol keberpasrahan makhluk kepada Penciptanya. Mungkin seperti juga kehidupanku yang harus berjauhan dengan keluarga. Dibutuhkan banyak upaya untuk bercengkerama dan bercanda ria bersama keluarga dengan jarak ratusan kilometer. Semua telah diatur sesuai KehendakNya.
”Iya beli ice cream, sama buku puisi” kataku kepada Sal. Namun sayang kami tidak jadi jalan-jalan ke Simpang Lima pada liburan itu. Aku dan Bundanya Sal terlalu lelah, Aku lelah karena habis perjalanan jauh sedangkan Bundanya Sal capek karena harus pulang malam karena tutup bulan harus menyelesaikan pekerjaan kantor sampai rampung. Memang kalau Sal dijanjikan sesuatu dia akan terus menagih dan merajuk untuk segera direalisasikan, sepertinya Sal mungkin juga anak-anak lainnya tidak sabaran bila dijanjikan sesuatu yang menarik hatinya. Beli buku puisi, Sal sangat antusias, dan beberapa saat kemudian selalau menagih dan merajuk, ”ayo yah jalan-jalan, beli buku puici, ayo Yah, jalan-jalan beli buku puici, aa...”.
Ketika pertama kali aku bilang beli buku puisi, responnya memang lucu banget, "puisi itu yang dijalan raya" katanya berulang-ulang dengan nada masih cadel. aku pun tertawa dipikirnya Puisi itu Polisi, dia memang suka banget kalo lihat Bapak/Ibu Polisi, malahan sering memberi hormat pada setiap Bapak/Ibu Polisi yang ditemui dijalan raya, tentu saja dengan serta merta Bapak/Ibu Polisi juga membalas hormat kepada Sal. Lalu aku pun menjelaskan kepadanya bahwa Puisi itu bukan Polisi, tapi puisi itu kata-kata seperti buku cerita, kumpulan kata-kata, entahlah apa Sal memahami atau tidak penjelasanku ini. Memang kami, aku, bunda Sal, Bude/Pak De, Sepupu Sal) sering membacakan buku-buku cerita. Karya-karya Clara Regina, Arleen Amidjaja, Iwan Kuswandi, dan beberapa pengarang lain merupakan cerita balita yang akrab ditelinga Sal.
Dulu Sal sangat menikmati cerita-ceritanya. Benji Sakit Gigi, Benji’s Toothache merupakan cerita favoritnya bahkan pernah Sal terbangun jam 01.00 dinihari minta dibacakan cerita Benji’s Toothache, maka dengan setengah mengantuk aku pun membacakan cerita tersebut pada buah hati semata wayangku ini. Mungkin karena sering dibacakan cerita yang sudah pernah didengarkan antusiasme Sal berkurang. Sal lebih menyukai main mobil-mobilan sambil berbaring dilantai atau menaiki truck mainan kesayangannya, Meskipun kadang-kadang menjelang boboknya Sal minta dibacakan cerita-cerita kesukaan yang lainnya seperti ”Aku Tidak Makan Sembarangan, Aku Tidak Tidur Sembarangan, Aku Tidak Main Pisau Sembarangan, dan Aku Tidak Nonton Tivi Sembarangan.
Dari rasa antusiasme yang berkurang yang kuperhatikan pada Sal atas buku-buku cerita itu lalu aku berinisiatif ingin mencoba memperkenalkannya pada puisi, barangkali Sal bisa menikmati.
Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan apa itu puisi kepada seorang Sal yang masih balita. Apakah membacakan karya sajak atau puisi kepadanya dapat memberikan manfaat baginya. Apakah Puisi dapat mempengaruhi Sal sebagaimana sastra telah mempengaruhi manusia berabad-abad lamanya sebagai simbol manusia berbudaya.
”Bang Ijo, Semarang terakhir” suara kondektur bus menyadarkanku dari lamunan. Aku pun bersiap-siap untuk turun di pemberhentian dekat lampu merah. Memang sebetulnya dilarang tapi kalau sudah larut begini kondisi jalan raya tidak begitu ramai dan sopir bus mau memberhentikan didekat lampu merah untuk menurunkan penumpang. Aku segera mencari angkutan kota setelah turun dari bus. Angkutan kota memang mudah didapatkan diwilayah ini. Mereka beroperasi selama 24 jam sepertinya. Tidak sampai sepuluh menit aku pun telah sampai di pertigaan jalan menuju rumahku. Tukang becak pun sudah menyambutku untuk mengantar meski hari telah dini. Aku sungguh kagum atas ketahanan mereka. Bertahan dalam udara malam yang dingin dengan hanya bersandar di becaknya masing-masing.
Aku langsung naik ke becak yang sudah direndahkan posisinya oleh tukang becak untuk mempermudah aku menaikinya.
”Kemana ini, Om” tanya tukang becak setelah dia memedal becaknya.
”Gang Pasar, Pak”
Jjawabku pada tukang becak tersebut sambil terheran-heran, tidak biasanya mereka memanggilku Om, biasanya mas adalah sapaan yang akrab sering aku dengar, dan aku lebih suka dipanggil seperti ini, lebih sosial bila dengarkan, entahlah mungkin ini hanya persepsiku saja.
”Nggih, Om” jawabnya.

Sebenarnya aku ingin menelepon Bundanya Sal untuk menyuruh keponakan-keponakan kami yang berada dirumah, tapi aku berpikir daripada harus membangunkan mereka di dini hari lebih baik aku naik becak saja. Kunikmati perjalanan dengan menumpang becak ini sambil melihat kekanan dan kekiri, aku jadi ingat salah satu lagu kesukaan Sal, Becak yang sering juga Sal senangdungkan sambil menirukan suara dikaset.
”Berhenti sini, Pak” kataku pada Tukang Becak.
”Nggih” jawabnya pendek.
Dua pohon bambu kuning dengan daun hijau muda jarang-jarang depan pagar disudut kanan rumahku akan menyambutmu bila engkau bertamu ke rumahku disamping angin dingin dan kadang sepoi-sepoi semilir berhembus dari telaga di seberang jalan depan rumahku.
Aku memukul-mukulkan Gembok pintu pagar sebagai tanda kedatanganku untuk dibukakan pintu. Keluargaku sudah hafal memang, bila pintu pagar dipukul-pukul dilarut malam. Salah satu keponakanku membukan pintu.
”Kok dalu, Mas”
Tanyanya, basa-basi yang sering kudengarkan bila aku datang pada larut malam. Memang keponakanku yang satu ini aneh, memanggil aku, Om-nya dengan sebutan mas, rasanya ganjil juga, tapi hal itu tidak menggangguku dan aku biarkan saja.
”Adek gak rewel” pertanyaan yang sama pula yang sering aku tanyakan bila aku baru datang.
Setelah membersihkan diri dan berganti, kubuka pintu kamar dan kulihat jagoanku semata wayang lelap tidur memeluk guling kecil kesayangannya yang bergambar spongebob. Aku dekati dia kupandangi dengan seksama dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu kucium pipi kiri dan kanan serta keningnya.
”Oh permataku, akankah aku tega membiarkanmu menangis bila suatu saat kelak engkau menjadi nakal, merengek-rengek, sebagaimana anak-anak lain yang selalu merajuk meminta sesuatu dengan tangisan”
”Oh buah hatiku, akankah aku suatu saat tega membiarkanmu kecewa dan nelangsa bila engkau remaja kelak engkau menjadi liar sebagaimana anak muda lainnya yang sedang mencari jati diri”
”Tuhanku alirilah dadaku dengan penuh rasa kesabaran dan kecintaan dalam mengemban amanatmu” desahku dalam hati.

No comments:

Sepetak Sajak

Kau tidak menyebut nama-Ku
kau menyebut namamu

(Gatoloco, Asmaradana, Goenawan Mohammad)

----

aku ingin mencintamu dengan membabi buta-
dengan sebotol racun yang diteguk Romeo
tanpa sangsi yang membuat kematiannya jadi puisi

aku ingin kau mencintaiku dengan membabi buta
dengan sebilah belati yang ditikamkan Juliet
ke dada sendiri yang membuatnya jadi abadi

(Aku Ingin, Autobiografi, Saut Situmorang)